BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Studi kasus
X adalah seorang remaja madya yang saat ini
sedang sekolah disuatu SMA Negeri. Sudah beberapa hari ini ia mempunyai
kebiasaan aneh yang tidak bisa ia hentikan. Kebiasannya adalah mencuci
tangannya lebih dari 10x dalam satu hari. Teman-temannya juga heran mengapa ia
berperilaku seperti itu. Ketika ia berkonsultasi kepada psikolog sekolahnya ia
baru tahu apa yang terjadi padanya. Psikolog menanyainya apa yang
menyebabkannya seperti itu, lalu X mulai menceritakan kejadian apa yang
sebenarnya ia lakukan. X adalah kakak dari A. Saat kecil keduanya pernah
bertengkar, X tanpa sengaja mengambil gunting dan menorehkannya ke lengan
adiknya,A. akibatnya lengan A terluka dan menyebabkannya cacat. peristiwa ini
membuatnya bersalah dan ia terus menerus memikirkan kesalahannya ini (obsesif),
dan tiap kali ia mengingatnya ia akan mencuci tangannya berulang-ulang.
Berdasarkan cerita diatas, kita
bisa melihat bahwa obsesif adalah pemikiran yang berulang dan terus-menerus.
Sedangkan kompulsif adalah pelaksanaan dari pemikirannya tersebut. Perilaku ini
merupakan ritual pembebasan dari dosa pada orang tersebut. dengan mencuci
tangan ia berharap bisa membersihkan dari dosa yang telah ia perbuat. obsesif
kompulsif ini biasanya cenderung pada perilaku bersih-bersih. Perilaku seperti
ini sebenarnya banyak terjadi pada lingkungan kita tetapi, kita kadang malah
menganggap perilaku ini wajar.
1.2
Latar
belakang
Abnormalitas atau yang disebut juga
perilaku abnormal adalah suatu bentuk perilaku yang maladaptif. Ada juga yang
menyebutnya mental disorder, psikopatologi, emotional discomfort, mental
illness (penyakit mental), ataupun insanity.
Abnormalitas merupakan suatu
perilaku, pikiran, dan perasaan yang membahayakan individu maupun orang lain. Bahaya yang akan terjadi
berbagai macam bentuk, seperti:pengalaman yang tidak menyenangkan (cemas atau
depresi), tidak mampu berfungsi dalam suatu pekerjaan, tidak dapat berhubungan
dengan orang lain secara baik dan mempunyai masalah kesehatan.
Perilaku abnormal
merupakan tampilan dari kepribadian seseorang, dan tampilan luar atau tampilan
atas kedua-duanya. Perilaku abnormal juga merupakan perilaku spesifik, phobia,
atau pola-pola peilaku yang lebih mendalam. Perilaku abnormal juga merupakan
sebutan untuk masalah-masalah yang berkepanjangan atau bersifat kronis dan
gangguan-gangguan yang gejala-gejalanya bersifat akut dan temporer.
Abnormalitas dilihat dari sudut pandang biologis
berawal dari pendapat bahwa patologi otak merupakan faktor penyebab tingkah
laku abnormal. Pandangan ini ditunjang lebih kuat dengan perkembangan di abad
ke-19 khususnya pada bidang anatomi faal, neurologi, kimia dan kedokteran umum.
Berbagai penyakit neurologis saat ini telah dipahami sebagai terganggunya
fungsi otak akibat pengaruh fisik atau kimiawi dan seringkali melibatkan segi
psikologis atau tingkah laku.
Akan tetapi kita harus perhatikan bahwa kerusakan
neurologis tidak selalu memunculkan tingkah laku abnormal, dengan kata lain
tidak selalu jelas bagaimana kerusakan ini dapat mempengaruhi tingkah laku
seseorang. Fungsi otak yang kuat bergantung pada efisiensi sel saraf atau
neuron untuk mentransmisikan suatu pesan melalui synaps ke neuron berikutnya
dengan menggunakan zat kimia yang disebut neurotransmiter. Dengan ketidakseimbangan
bio kimia otak inilah yang mendasari perspektif biologis munculnya tingkah laku
abnormal. Akan tetapi selain dari patologi otak sudut pandang biologis juga
memandang bahwa beberapa tingkah laku abnormal ditentukan oleh gen yang
diturunkan serta kondisi psikis seseorang.
Beberapa
contoh perilaku abnormal yaitu Anxiety disorders (gangguan kecemasan),
somatoform disorders (gangguan somatoform), dan disosiatif disorders (gangguan
disosiasi).
Penjelasan
lebih lanjut mengenai beberapa hal diatas akan dijelaskan berikutnya dalam makalah ini.
1.1
Rumusan
masalah
1. Apa
itu abnormalitas?
2. Bagaimana
pandangan historis mengenai Abnormalitas?
3. Apa
itu gangguan kecemasan?
4. Apa
saja gejala-gejala umum gangguan kecemasan?
5. Apa
saja tipe-tipe gangguan kecemasan?
6. Jenis
terapi apa saja yang digunakan untuk penyembuhan gangguan kecemasan?
7. Apa
saja pencegahan yang bisa dilakukan untuk pencegahan gangguan kecemasan?
8. Apa
itu gangguan somatoform?
9. Apa
saja gejala-gejala gangguan somatoform?
10. Apa
saja tipe-tipe gangguan somatoform
11. Bagaimana
pandangan teoritis mengenai gangguan somatoform
12. Jenis
terapi apa saja yang digunakan untuk penyembuhan gangguan somatoform?
13. Apa
itu gangguan disosiasi?
14. Apa
saja gejala gangguan disosiasi?
15. Apa
saja tipe-tipe gangguan disosiasi?
16. Bagaimana
pandangan teoritis gangguan disosiasi?
17. Jenis
terapi apa saja yang digunakan untuk penyembuhan gangguan disosiasi?
1.2
Tujuan
Penyusunan makalah ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui
definisi abnormalitas
2. Mengetahui
pandangan historis mengenai abnormalitas
3. Mengetahui
definisi gangguan kecemasan
4. Mengetahui
gejala-gejala umum gangguan kecemasan
5. Mengetahui
tipe-tipe gangguan kecemasan
6. Mengetahui
jenis terapi yang digunakan untuk penyembuhan gangguan kecemasan
7. Mengetahui
cara pencegahan gangguan kecemasan
8. Mengetahui
definisi gangguan somatoform
9. Mengetahui
gejala-gejala umum gangguan somatoform
10. Mengetahui
tipe-tipe gangguan somatoform
11. Mengetahui
pandangan teoritis gangguan somatoform
12. Mengetahui
jenis terapi yang digunakan untuk menyembuhkan gangguan somatoform
13. Mengetahui
definisi gangguan disosiasi
14. Mengetahui
gejala-gejala umum gangguan disosiasi
15. Mengetahui
tipe-tipe gangguan disosiasi
16. Mengetahui
pandangan teoritis gangguan disosiasi
17. Mengetahuijenis
terapi yang digunakan untuk menyembuhkan gangguan disosiasi
1.3
Manfaat
Ada dua manfaat dari
makalah ini, yaitu:
1. Manfaat
teoritis
Memberi sumbangan informasi berkaitan
dengan materi abnormalitas
2. Manfaat
praktis
a) Bagi
mahasiswa semester 1 PSIKOLOGI, makalah ini dapat dijadikan panduan dalam
mempelajari materi Abnormalitas
b) Bagi
publik, makalah ini dapat menambah
pengetahuan mengenai konsep-konsep abnormalitas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian abnormalitas
Abnormalitas
adalah suatu perilaku, pikiran, dan
perasaan yang membahayakan individu
maupun orang lain. Bahaya yang akan terjadi berbagai macam bentuk,
seperti:pengalaman yang tidak menyenangkan (cemas atau depresi), tidak mampu
berfungsi dalam suatu pekerjaan, tidak dapat berhubungan dengan orang lain
secara baik dan mempunyai masalah kesehatan.
Perilaku abnormal
merupakan tampilan dari kepribadian seseorang, dan tampilan luar atau tampilan
atas kedua-duanya. Perilaku abnormal juga merupakan perilaku spesifik, phobia,
atau pola-pola peilaku yang lebih mendalam. Perilaku abnormal juga merupakan
sebutan untuk masalah-masalah yang berkepanjangan atau bersifat kronis dan
gangguan-gangguan yang gejala-gejalanya bersifat akut dan temporer.
2.2 Sejarah Psikologi Abnormal
Teori mangenai perilaku abnormal
berkembang dalam beberapa periode sejarah, yaitu:
1) Masa Demonologi Awal
Berlaku pandangan bahwa makhluk
jahat dapat menempati seseorang dan mengendalikannya sehingga seseorang
mengalami sakit jiwa. Exorcism adalah pengusiran roh jahat dengan ritual
seperti doa, suara gaduh, dipaksa minum cairan yang tidak enak, membuat menderita
supaya roh jahatnya pergi. Masa
Somatogenesis
2)
Masa somatogenesis
Menurut
Hipocrates, penyakit jiwa
disebabkan karena gangguan (kelainan) pada jasmani. Otak sebagai organ
kesadaran berisi kehidupan intelek dan intuisi sehingga kalau perilaku
(pikiran) seseorang menyimpang, berarti ada patologi di otak. Hipocrates mengklasifikasikan
gangguan mental menjadi tiga golongan, yaitu mania, melancholia, phlegmatis. Hipocrates
juga menyatakan bahwa fungsi otak yang normal serta kesehatan mental bergantung
pada keseimbangan empat cairan tubuh:
·
Darah, jika tidak seimbang akan
menyebabkan tempramen mudah berubah.
·
Empedu Hitam, jika tidak seimbang akan
menyebabkan melancholia.
·
Empedu Kuning, jika tidak seimbang akan
menyebabkan cemas dan mudah tersinggung.
·
Phlegma atau lendir, jika tidak seimbang
akan menyebabkan seseorang menjadi lambat dan bodoh.
3) Masa Orang Sakit Jiwa Dianggap
Sebagai Tukang Sihir
Pada abad ke 13 di Eropa sedang
berjangkit wabah dan masyarakat mencari kambing hitam yaitu "tukang
sihir" sebagai penyebabnya sehingga mereka dianiaya bahkan dibunuh.
4)
Masa Perkembangan Asylum
Di
Eropa sebelum abad ke 19, berjangkit wabah lepra. Penderita lepra ditempatkan
di "leprosium", setelah wabah berhenti, tempat tersebut menjadi
kosong lalu diubah menjadi "asylum", yaitu rumah penampungan penderita
sakit jiwa.
- Benjamin Rush
(1745-1813) Bapak psikiater Amerika ini menyatakan bahwa gangguan jiwa
disebabkan terlalu banyak darah, maka secara periodik darah penderita "di
kop".
5) Masa moral treatment
Ditandai oleh perlakuan yang lebih
moralis atau humanistik terhadap penderita gangguan jiwa.
6) Masa
Mulainya Pemikiran Baru
- Wilhelm Griessinger Seorang dokter Jerman yang menyatakan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh sebab fisik, sesuai pandangan Somatogenesi Hipocrates.
-
Emil
Kraeplin Pada tahun 1883, Ia membuat klasifikasi
tentang sifat-sifat organik dari gangguan jiwa. Menurutnya, pada penyakit jiwa
ada kecenderungan sekelompok simptom. Setiap penyakit jiwa berbeda satu sama
lain dalam hal asal usul, simptom, perjalanan penyakit dan akibatnya. Kraeplin
membagi dua golongan besar penyakit jiwa:
·
Dementia Praecox atau schizophrenia
karena ketidakseimbangan kimia
·
Psikosis Manik Depresif karena
ketidakseimbangan metabolisme
7) Psikogenesis
Di Eropa Barat,
terutama Perancis dan Austria pada akhir abad 18-19, gangguan jiwa dianggap
karena kerusakan fungsi psikologis dan waktu itu di Eropa banyak gangguan
histerical atau histeria (sekarang disebut gangguan konversi). Mereka menderita
ketidakmampuan fisik seperti buta atau lumpuh tanpa sebab kerusakan anatomis.
- Anton
Mesmer Seorang dokter Austria yang berpendapat bahwa
gangguan histeria disebabkan distribusi cairan magnetisme binatang dalam tubuh
- Marti
Charcot Seorang neurolog Prancis menyatakan
bahwa histeria disebabkan oleh aspek psikologis.
- Joseph
Breur
Seorang
dokter Vienna menghipnotis orang yang terkena histeria serta membiarkan pasien
melakukan katarsis.
2.3 Gangguan Kecemasan (anxiety
disorders)
2.3.1
Pengertian
Kecemasan merupakan hal
yang normal terjadi pada setiap individu, reaksi umum terhadap stress kadang
dengan disertai kemunculan kecemasan. Namun kecemasan itu dikatakan menyimpang
bila individu tidak dapat meredam (merepresikan) rasa cemas tersebut dalam
situasi dimana kebanyakan orang mampu menanganinya tanpa adanya kesulitan yang
berarti.
Kecemasan dapat muncul
pada situasi tertentu seperti berbicara didepan umum, tekanan pekerjaan yang
tinggi, menghadapi ujian. Situasi-situasi tersebut dapat memicu munculnya
kecemasan bahkan rasa takut. Namun, gangguan kecemasan muncul bila rasa cemas
tersebut terus berlangsung lama, terjadi perubahan perilaku, atau terjadinya
perubahan metabolisme tubuh.
Gangguan kecemasan diperkirakan diidap 1 dari 10 orang. Menurut data National Institute of Mental Health (2005) di Amerika Serikat terdapat 40 juta orang mengalami gangguan kecemasan pada usia 18 tahun sampai pada usia lanjut. Ahli psikoanalisa beranggapan bahwa penyebab kecemasan neurotik dengan memasukan persepsi diri sendiri, dimana individu beranggapan bahwa dirinya dalam ketidakberdayaan, tidak mampu mengatasi masalah, rasa takut akan perpisahan, terabaikan dan sebagai bentuk penolakan dari orang yang dicintainya. Perasaan-perasaam tersebut terletak dalam pikiran bawah sadar yang tidak disadari oleh individu.
Gangguan kecemasan diperkirakan diidap 1 dari 10 orang. Menurut data National Institute of Mental Health (2005) di Amerika Serikat terdapat 40 juta orang mengalami gangguan kecemasan pada usia 18 tahun sampai pada usia lanjut. Ahli psikoanalisa beranggapan bahwa penyebab kecemasan neurotik dengan memasukan persepsi diri sendiri, dimana individu beranggapan bahwa dirinya dalam ketidakberdayaan, tidak mampu mengatasi masalah, rasa takut akan perpisahan, terabaikan dan sebagai bentuk penolakan dari orang yang dicintainya. Perasaan-perasaam tersebut terletak dalam pikiran bawah sadar yang tidak disadari oleh individu.
2.3.2 Gejala Umum Gangguan Kecemasan
1)
Berdebar diiringi dengan detak jantung yang cepat
Kecemasan memicu otak
untuk memproduksi adrenalin secara berlebihan pada pembuluh darah yang
menyebabkan detak jantung semakin cepat dan memunculkan rasa berdebar. Namun
dalam beberapa kasus yang ditemukan individu yang mengalami gangguan kecemasan
kontinum detak jantung semakin lambat dibandingkan pada orang normal.
2) Rasa sakit atau nyeri pada dada
Kecemasan meningkatkan tekanan otot pada
rongga dada. Beberapa individu dapat merasakan rasa sakit atau nyeri pada dada,
kondisi ini sering diartikan sebagai tanda serangan jantung yang sebenarnya
adalah bukan. Hal ini kadang menimbulkan rasa panik yang justru memperburuk
kondisi sebelumnya.
3)
Rasa sesak napas
Ketika rasa cemas muncul, syaraf-syaraf impuls
bereaksi berlebihan yang menimbulkan sensasi dan sesak pernafasan, tarikan
nafas menjadi pendek seperti kesulitan bernafas karena kehilangan udara
5)
Berkeringat secara berlebihan
Selama kecemasan muncul terjadi kenaikan
suhu tubuh yang tinggi. Keringat yangmuncul disebabkan otak mempersiapkan
perencanaan fight or flight terhadap stressor
5) Kehilangan gairah seksual atau penurunan minat terhadap aktivitas seksual
6) Gangguan tidur
5) Kehilangan gairah seksual atau penurunan minat terhadap aktivitas seksual
6) Gangguan tidur
7) Tubuh
gemetar
Gemetar adalah hal yang dapat dialami oleh
orang-orang yang normal pada situasi yang menakutkan atau membuatnya gugup,
akan tetapi pada individu yang mengalami gangguan kecemasan rasa takut dan
gugup tersebut terekspresikan secara berlebihan, rasa gemetar pada kaki, atau
lengan maupun pada bagian anggota tubuh yang lain.
8) Tangan atau anggota tubuh menjadi dingin dan bekeringat
8) Tangan atau anggota tubuh menjadi dingin dan bekeringat
9)
Kecemasan depresi memunculkan ide dan keinginan untuk bunuh diri
10) Gangguan kesehatan seperti sering
merasakan sakit kepala (migrain).
2.3.3 Tipe-Tipe Gangguan Kecemasan
1. Fobia
Fobia adalah ketakutan
yang berlebihan yang disebabkan oleh benda, binatang ataupun peristiwa
tertentu. sifatnya biasanya tidak rasional, dan timbul akibat peristiwa traumatik
yang pernah dialami individu. Fobia juga merupakan penolakan berdasar ketakutan
terhadap benda atau situasi yang dihadapi, yang sebetulnya tidak berbahaya dan
penderita mengakui bahwa ketakutan itu tidak ada dasarnya.
Fobia simpel: sumber
binatang, ketinggian, tempat tertutup, darah. Yang menderita kebanyakan wanita,
dimulai semenjak kecil. Agorafobia: kata yunani, agora=tempat berkumpul, pasar.
Sekelompok ketakutan yang berpusat pada tempat-tempat publik: takut berbelanja,
takut kerumunan, takut bepergian. Banyak wanita yang menderita ini dimulai pada
masa remaja dan permulaan dewasa.
Simtom: ketegangan,
pusing, kompulsi, merenung, depresi, ketakutan menjadi gila. 90% dari suatu
sampel: takut tempat tinggi, tempat tertutup, elevator.
Fobia dibedakan menjadi dua jenis,yaitu:
a.
Fobia Spesifik
Ketakutan berlebih yang disebabkan oleh benda, atau
peristiwa traumatik tertentu, misalnya: ketakutan terhadap kucing (ailurfobia),
ketakutan terhadap ketinggian (acrofobia), ketakutan terhadap tempat tertutup
(agorafobia), fobia terhadap kancing baju dan lain-lain.
b.
Fobia Sosial
Ketakutan berlebih pada kerumunan atau tempat umum.
ketakutan ini disebabkan akibat adanya pengalaman yang traumatik bagi individu
pada saat ada dalam kerumunan atau tempat umum. misalnya dipermalukan didepan
umum, ataupun suatu kejadian yang mengancam dirinya pada saat diluar rumah.
- Obsesif Kompulsif
Obsesi adalah pikiran yang berkali-kali
datang yang mengganggu, tampak tidak rasional, tidak dapat dikontrol dan mengganggu
hidup. Obsesi dapat berbentuk keragu-raguan yang ekstrim, penangguhan tidak
dapat membuat keputusan. pasien tidak dapat mengambil kesimpulan.
Kompulsi adalah impuls yang tidak dapat ditolak mengulangi tingkah laku ritualistik berkali-kali. Kompulsi sering berhubungan dengan kebersihan dan keteraturan. Penderita merasa apa yang dilakukannya asing. Ada 5 bentuk obsesi, yaitu:
Kompulsi adalah impuls yang tidak dapat ditolak mengulangi tingkah laku ritualistik berkali-kali. Kompulsi sering berhubungan dengan kebersihan dan keteraturan. Penderita merasa apa yang dilakukannya asing. Ada 5 bentuk obsesi, yaitu:
- Kebimbangan yang obsesif: pikiran bahwa suatu tugas yang telah selesai tidak secara baik (75% dari pasien).
- Pikiran yang obsesif: pikiran berantai yang tidak ada akhirnya. Biasanya fokus pada kejadian yang akan datang (34% dari pasien).
- Impuls yang obsesif; dorongan untuk melakukan suatu perbuatan (17%).
- Ketakutan yang obsesi kecemasan untuk kehilangan kontrol dan melakukan sesuatu yang memalukan (26%)
- Bayangan obsesif: bayangan terus menerus mengenai sesuatu yang dilihat (7%).
Ada 2 macam
Kompulsif, yaitu:
- Dorongan kompulsif yang memaksa suatu perbuatan: melihat pintu berkali-kali (61%).
- Kompulsi mengontrol: mengontrol dorongan kompulsi (tidak menuruti dorongan tersebut): mengontrol dorongan dengan berkali-kali menghitung sampai 10.
3. Post Traumatik-Stress Disorder (PTSD/ Gangguan Stress Pasca Trauma)
PTSD merupakan kecemasan
akibat peristiwa traumatik yang biasanya dialami oleh veteran perang atau
orang-orang yang mengalami bencana alam. PTSD biasnya muncul beberapa tahun
setelah kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka
orang tersebut dapat mengembangkan PTSD.
Simtom dan diagnosis:
Akibat kejadian traumatik atau bencana yang tingkatnya sangat buruk: perkosaan,
peperangan, bencana alam, ancaman yang serius terhadap orang yang sangat
dicintai, melihat orang lain disakiti atau dibunuh. Akan berakibat tidak dapat
konsentrasi, mengingat, tidak dapat santai, impulsif, mudah terkejut, gangguan
tidur, cemas, depresi, mati rasa; hal-hal yang menyenangkan tidak menarik lagi,
ada perasaan asing terhadap orang-lain dan yang lampau. Kalau trauma dialami
bersama orang lain, dan yang lain mati: ada rasa bersalah, sering terjadi mimpi
buruk atau gangguan tidur.
Gangguan pasca trauma dapat akut, kronis atau lambat, trauma akibat orang, perang, serangan fisik atau penganiayaan berlangsung lebih lama daripada trauma setelah bencana alam. Simtom memburuk jika dihadapkan kepada situasi yang mirip. Dapat terjadi pada anak dan orang dewasa. Simtom pada anak: mimpi tentang monster atau perubahan tingkah laku. Riwayat psikopatologi pada keluarga memegang peranan penting
Perlakuan: Dapat melalui terapi kelompok. Dengan cara ini penderita mendapatkan support dari teman-temannya.
Gangguan pasca trauma dapat akut, kronis atau lambat, trauma akibat orang, perang, serangan fisik atau penganiayaan berlangsung lebih lama daripada trauma setelah bencana alam. Simtom memburuk jika dihadapkan kepada situasi yang mirip. Dapat terjadi pada anak dan orang dewasa. Simtom pada anak: mimpi tentang monster atau perubahan tingkah laku. Riwayat psikopatologi pada keluarga memegang peranan penting
Perlakuan: Dapat melalui terapi kelompok. Dengan cara ini penderita mendapatkan support dari teman-temannya.
4. GAD (Generalized Anxiety Desease: Gangguan Kecemasan
Tergeneralisasikan)
Tanda-tanda: kecemasan kronis terus menerus rnencakup situasi hidup (cemas akan terjadi kecelakaan, kesulitan finansial). Ada keluhan somatik: berpeluh, merasa panas, jantung berdetak keras, perut tidak enak, diare, sering buang air kecil, dingin, tangan basah, mulut kering, tenggorokan terasa tersumbat, sesak nafas, hiperaktivitas sistem saraf otonomik. Merasa ada gangguan otot: ketegangan atau rasa sakit pada otot terutama pada leher dan bahu, pelupuk mata berkedip terus, bcrgetar, mudah lelah, tidak mampu untuk santai, mudah terkejut, gelisah, sering berkeluh. Cemas akan terjadinya bahaya, cemas kehilangan kontrol, cemas akan mendapatkan.serangan jantung, cemas akan mati. Sering penderita tidak sabar, mudah marah, tidak dapat tidur, tidak dapat konsentrasi.
Penyebab: Psikoanalitik: konflik antara impuls id dan ego yang tidak disadari. Impuls itu seksual atau agresif → ingin keluar, dihalangi → tidak disadari → cemas. Teori belajar: kondisioning klasik dari rangsang luar. Kognitif behavioral: memfokus kontrol dan ketidakberdayaan.
Tanda-tanda: kecemasan kronis terus menerus rnencakup situasi hidup (cemas akan terjadi kecelakaan, kesulitan finansial). Ada keluhan somatik: berpeluh, merasa panas, jantung berdetak keras, perut tidak enak, diare, sering buang air kecil, dingin, tangan basah, mulut kering, tenggorokan terasa tersumbat, sesak nafas, hiperaktivitas sistem saraf otonomik. Merasa ada gangguan otot: ketegangan atau rasa sakit pada otot terutama pada leher dan bahu, pelupuk mata berkedip terus, bcrgetar, mudah lelah, tidak mampu untuk santai, mudah terkejut, gelisah, sering berkeluh. Cemas akan terjadinya bahaya, cemas kehilangan kontrol, cemas akan mendapatkan.serangan jantung, cemas akan mati. Sering penderita tidak sabar, mudah marah, tidak dapat tidur, tidak dapat konsentrasi.
Penyebab: Psikoanalitik: konflik antara impuls id dan ego yang tidak disadari. Impuls itu seksual atau agresif → ingin keluar, dihalangi → tidak disadari → cemas. Teori belajar: kondisioning klasik dari rangsang luar. Kognitif behavioral: memfokus kontrol dan ketidakberdayaan.
5. Gangguan Panik
Tanda-tanda: sesak nafas, detak jantung keras, sakit di
dada, merasa tercekik, pusing, berpeluh, bergetar, ketakutan yang sangat akan
teror, ketakutan akan ada hukuman.
Depersonalisasi dan derealisasi: perasaan ada di luar badan, merasa dunia tidak nyata, ketakutan kehilangan kontrol, ketakutan menjadi gila, takut akan mati. Terjadinya: sering, sekali seminggu atau lebih sering. Beberapa menit. Dihubungkan dengan situasi khusus, misalnya mengendarai mobil. Laki-laki 0,7 %, wanita 1%. 4 kali serangan panik dalam 4 minggu, Satu serangan diikuti ketakutan terjadinya serangan lagi paling sedikit 1 bulan. Serangan panik dapat diikuti agorafobia, 80% penderita panik juga menderita gangguan kccemasan yang lain. Sering juga ada depresi. Sering penyebabnya gangguan fisiologis, misalnya gangguan jantung.
Depersonalisasi dan derealisasi: perasaan ada di luar badan, merasa dunia tidak nyata, ketakutan kehilangan kontrol, ketakutan menjadi gila, takut akan mati. Terjadinya: sering, sekali seminggu atau lebih sering. Beberapa menit. Dihubungkan dengan situasi khusus, misalnya mengendarai mobil. Laki-laki 0,7 %, wanita 1%. 4 kali serangan panik dalam 4 minggu, Satu serangan diikuti ketakutan terjadinya serangan lagi paling sedikit 1 bulan. Serangan panik dapat diikuti agorafobia, 80% penderita panik juga menderita gangguan kccemasan yang lain. Sering juga ada depresi. Sering penyebabnya gangguan fisiologis, misalnya gangguan jantung.
2.3.4
Terapi Gangguan Kecemasan
Pendekatan-pendekatan psikologis berbeda satu sama lain dalam tekhnik dan
tujuan penanganan kecemasan. Tetapi pada dasarnya berbagai tekhnik tersebut
sama-sama mendorong klien untuk menghadapi dan tidak menghindari sumber-sumber
kecemasan mereka. Dalam menangani gangguan kecemasan dapat melalui beberapa
pendekatan:
1. Pendekatan-Pendekatan Psikodinamika
1. Pendekatan-Pendekatan Psikodinamika
Dari perspektif psikodinamika, kecemasan merefleksikan energi yang
dilekatkan kepada konflik-konflik tak sadar dan usaha ego untuk membiarkannya
tetap terepresi. Psikoanalisis tradisional menyadarkan bahwa kecemasan klien
merupakan simbolisasi dari konflik dalam diri mereka. Dengan demikian ego dapat memberi
perhatian lebih terhadap tugas-tugas yang lebih kreatif dan memberi
peningkatan. Begitu juga dengan yang modern, akan tetapi yang modern lebih
menjajaki sumber kecemasan yang berasal dari keadaaan hubungan sekarang
daripada hubungan masa lampau.
2. Pendekatan-Pendekatan
Humanistik
Para tokoh humanistik
percaya bahwa kecemasan itu berasal dari represi sosial diri kita yang
sesungguhnya. Kecemasan terjadi bila ketidaksadaran antara inner self seseorang
yang sesungguhnya dan kedok sosialnya mendekat ke taraf kesadaran. Oleh sebab
itu terapis-terapis humanistik bertujuan membantu orang untuk memahami dan
mengekspresikan bakat-bakat serta perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya
3. Pendekatan-Pendekatan Biologis
Pendekatan ini biasanya menggunakan variasi obat-obatan untuk mengobati
gangguan kecemasan. Diantaranya golongan benzodiazepine, Valium dan Xanax
(alprazolam). Meskipun benzodiazepine mempunyai efek menenangkan, tetapi dapat
mengakibatkan depensi fisik.
4. Pendekatan-Pendekatan
Belajar
Inti dari pendekatan
belajar adalah usaha untuk membantu individu menjadi lebih efektif dalam
menghadapi situasi yang menjadi penyebab munculnya kecemasan tersebut. Ada
beberapa macam model terapi dalam pendekatan belajar, diantaranya:
a. Pemaparan Gradual
a. Pemaparan Gradual
Metode ini membantu
mengatasi fobia ataupun kecemasan melalui pendekatan setapak demi setapak dari
pemaparan aktual terhadap stimulus fobik. Terapi ini sebagai terapi pilihan untuk
menangani fobia spesifik. Pemaparan gradual juga banyak dipakai pada penanganan
agorafobia. Terapi bersifat bertahap menghadapkan individu yang agorafobik
kepada situasi stimulus yang makin menakutkan, sasaran akhirnya adalah
kesuksesan individu ketika dihadapkan pada tahap terakhir yang merupakan tahap
terberat tanpa ada perasaan tidak nyaman dan tanpa suatu dorongan untuk
menghindar
b. Rekonstruksi
Pikiran
Yaitu membantu individu
untuk berpikir secara logis apa yang terjadi sebenarnya. biasanya digunakan
pada seorang psikolog terhadap penderita fobia.
c. Flooding
Yaitu individu dibantu dengan memberikan stimulus yang paling membuatnya
takut dan dikondisikan sedemikan rupa serta memaksa individu yang menderita
anxiety untuk menghadapinya sendiri.
d. Terapi
Kognitif
Terapi yang dilakukan adalah melalui pendekatan terapi perilaku
rasional-emotif, terapi kognitif menunjukkan kepada individu dengan fobia
sosial bahwa kebutuhan-kebutuhan irrasional untuk penerimaan-penerimaan sosial
dan perfeksionisme melahirkan kecemasan yang tidak perlu dalam interaksi
sosial. Terapi kognitif berusaha mengoreksi keyakinan-keyakinan yang
disfungsional. Misalnya, orang dengan fobia sosial mungkin berpikir bahwa tidak
ada seorangpun dalam suatu pesta yang ingin bercakap-cakap dengannya dan bahwa
mereka akhirnya akan kesepian dan terisolasi sepanjang sisa hidup mereka.
Terapi kognitif membantu mereka untuk mengenali cacat-cacat logis dalam pikiran
mereka dan membantu mereka untuk melihat situasi secara rasional
e. Terapi
Kognitif Behavioral (CBT)
Terapi ini memadukan tehnik-tehnik behavioral seperti pemaparan dan
tehnik-tehnik kognitif seperti restrukturisasi kognitif. Beberapa gangguan
kecemasan yang mungkin dapat dikaji dengan penggunaan CBT antara lain : fobia
sosial, gangguan stres pasca trauma, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan
obsesif kompulsif dan gangguan panik.
2.3.5 Pencegahan Munculnya Gangguan Kecemasan
1. Kontrol pernafasan
yang baik
Rasa cemas membuat tingkat pernafasan semakin cepat, hal ini disebabkan
otak "bekerja" memutuskan fight or flight ketika respon stres
diterima oleh otak. Akibatnya suplai oksigen untuk jaringan tubuh semakin
meningkat, ketidakseimbangan jumlah oksigen dan karbondiosida di dalam otak membuat
tubuh gemetar, kesulitan bernafas, tubuh menjadi lemah dan gangguan visual.
2.
Melakukan relaksasi
Kecemasan meningkatkan tension otot, tubuh menjadi pegal terutama pada
leher, kepala dan rasa nyeri pada dada. Cara yang dapat ditempuh dengan
melakukan teknik relaksasi dengan cara duduk atau berbaring, lakukan teknik
pernafasan, usahakanlah menemukan kenyamanan selama 30 menit.
3.
Intervensi kognitif
Kecemasan timbul akibat
ketidakberdayaan dalam menghadapi permasalahan, pikiran-pikiran negatif secara
terus-menerus berkembang dalam pikiran. caranya adalah dengan sugestikan diri dengan hal yang positif, singkirkan
pikiran-pikiran yang tidak realistik.
4.
Pendekatan agama
Pendekatan agama akan
memberikan rasa nyaman terhadap pikiran, kedekatan terhadap Tuhan dan doa-doa
yang disampaikan akan memberikan harapan-harapan positif.
Dalam Islam, sholat dan metode zikir ditengah malam akan memberikan rasa nyaman dan rasa percaya diri lebih dalam menghadapi masalah. Metode zikir (berupa Asmaul Husna) juga efektif menyembuhkan insomnia.
Dalam Islam, sholat dan metode zikir ditengah malam akan memberikan rasa nyaman dan rasa percaya diri lebih dalam menghadapi masalah. Metode zikir (berupa Asmaul Husna) juga efektif menyembuhkan insomnia.
5.
Pendekatan keluarga
Jangan ragu untuk
menceritakan permasalahan yang dihadapi bersama-sama anggota keluarga.
Ceritakan masalah yang dihadapi secara tenang, katakan bahwa kondisi Anda saat
ini sangat tidak menguntungkan dan membutuhkan dukungan anggota keluarga
lainnya.
6. Olahraga
6. Olahraga
Olahraga tidak hanya
baik untuk kesehatan. Olaharaga akan menyalurkan tumpukan stres secara positif.
Lakukan olahraga yang tidak memberatkan, dan memberikan rasa nyaman kepada diri
Anda.
2.4
Gangguan somatoform
2.4.1 Pengertian dan gejala
Kata somatoform ini di
ambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan
somatoform, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik,
namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan penyebabnya. Gangguan
somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis.
Gejala
dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional
yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi
di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform
mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang
besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah
tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
2.4.2
Tipe-tipe gangguan somatoform
1)
Pain Disorder
Pada pain disorder,
penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara
signifikan, faktor
psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan
tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan
menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat
berhubungan dengan konflik.
Diagnosis
akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari
rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana
rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti
penglihatan dan pendengaran.
2)
Body Dysmorphic Disorder
Pada
body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan
dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di
wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita
cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan
pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran
penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya
(Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa individu yang mengalami
gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk
memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari
cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka. Beberapa bahkan mengurung diri di
rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal
ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri, seringnya konsultasi pada dokter
bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan
operasi sendiri pada tubuhnya.
BDD muncul kebanyakan pada wanita,
biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi,
fobia social, gangguan kepribadia
(Albertini
& Philips daam Davidson, Neale, Kring, 2004)..
3.
Hypochondriasis
Hypochondriasis
adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan memiliki
penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari
kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini
biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Dalam teori disebutkan bahwa mereka
bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti
detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa
sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis
seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.
4.
Conversion disorder
Pada
conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan
atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan
rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut
baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan
fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang
tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari
beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan
perhatian.
Gejala
conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana
biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup.
Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak
dialami oleh wanita. Conversion
disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan
penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian (Binzer, Anderson&Kullgren,
1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
5.
Somatization Disorder
Menurut
DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah memiliki sejarah dari
banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala
gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala pseudoneurological. Gejala-gejala yang timbul tidak
disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis
yang dialami.
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispani. Pada pasien yang sedang menjalani pengobatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico. Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispani. Pada pasien yang sedang menjalani pengobatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico. Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
6) Sindrom Koro dan Sindrom
Dhat
Sindrom
koro
itu adalah gangguan somatoform yang terkait budaya, ditemukan terutama di Cina,
dimana orang takut bahwa alat genital mereka akan mengerut. Sindrom koro adalah kecemasan takut bahwa alat genitalnya akan
mengerut. Tanda-tanda fisiologis kecemasan yang medekati proposi panic, mencakup keringat yang berlebihan
, tidak dapat bernafas, dan jantung berdebar-debar.
Sindrom
dhat
adalah gangguan somatoform yang terkait budaya, ditemukan terutama di antara
pria Asia India, yang ditandai oleh ketakutan yang berlebih akan kehilangan air
mani. Pria dengan sindrom ini juga percaya bahwa air mani bercampur dengan
urine dan dikeluarkan saat buang air kecil. Ada keyakinan yang tertersebar luas
dalam budaya India yaitu bahwwa hilangnya air mani merupakan sesuatu yang
berbahaya karena mengurangi energi mental dan fisik tubuh.
2.4.3 Pandangan Teoritis
a.
Teori Psikodinamika
Freud
mengembangkan teori pikiran yang mengancam atau yang tidak disadari. Freud
meyakini bahwa ego berfungsi untuk mengontrol impuls seksual dan agresif
yang mengancam atau tidak dapat diterima yang timbul dari id melalui mekanisme
pertahanan diri seperti represi.
Simtom
histerikal memiliki fungsi yaitu membrikan orang tersebut keuntunga primer dan
sekunder,
yaitu: Primer yaitu hilangnya kecemasan yang mendasar yang diperoleh
dari berkembangnya simtom-simtom neurotic. Sedangkan sekunder yaitu
keuntungan sampingan yang dihubungkan dengan gangguan neurotis atau lainnya,
seperti ekspresi simpati, perhatian yang meningkat, dan terbebas dari
tanggungjawab.
b.
Teori Belajar
Teori
psikodinamika dan teori belajar bahwa simtom-simtom dalam gangguan konversi
dapat mengatasi kecemasan. Teoritikus psikodinamika mencari penyebab kecemasan
dalam konflik-konflik yang tidak disadari. Perbedaan dalam pengalaman belajar
dapat menjelaskan bahwa “mengapa secara histories gangguan konversi lebih
sering dilaporkan oleh wanita daripada pria.
c.
Teori kognitif
Penjelasan kognitif lain berfungsi
pada peran dari pikiran yang terdistorsi.
2.4.4 Terapi gangguan somatoform
Dalam menangani gangguan somatoform dapat melalui beberapa pendekatan:
1) Terapi untuk Somatization Disorder
Dalam
pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya
tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir
penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan
mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak
2) Terapi untuk Hypochondriasis
Secara
umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi
hypochondriasis.Penelitian
menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam
melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan. Cognitive-behavioral therapy dapat
bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga
hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini
dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis
bahwa mereka tidak sakit
3) Terapi untuk Pain
Disorder
- Memvalidasikan
bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran
penderita.
-
Relaxation training
-
Memberi reward kepada mereka yang
berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri
-
mengajari penderita bagaimana caranya
menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan
meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau
ketidaknyamanan yang penderita rasakan.
2.5
Gangguan
disosiatif
2.5.1 pengertian dan gejala
Gangguan
disosiatif adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan
identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu
mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa
akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Secara
umum gangguan disosiatif (dissociative
disorders) bisa didefinisikan sebagai adanya kehilangan (sebagian atau
seluruh) dari integrasi normal (di bawah kendali sadar) yang meliputi ingatan
masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaanan segera (awareness of
identity and immediate
sensations), serta control terhadap gerak tubuh.
Dalam
penegakan diagnosis Gangguan Disosiatif harus ada gangguan yang menyebabkan
kegagalan mengoordinasikan identitas, memori persepsi ataupun kesadaran, dan
menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan dan
memanfaatkan waktu senggang.
Gejala utama gangguan ini adalah adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah kendali
kesadaran) antara lain:
·
ingatan masa lalu
·
kesadaran identitas dan penginderaan
(awareness of identity and immediate sensations)
·
kontrol terhadap gerakan tubuh
2.5.2 Tipe-tipe gangguan
disosiatif
1. Amnesia Disosiatif
Amnesia
disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang
yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang
penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stres.
Pada
amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan teman-temannya, tetapi
tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran, juga tetap memiliki
bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh sebelumnya.
Perkembangan Klinis amnesia disosiatif:
·
Hilangnya daya ingat (sebagian /
seluruh), biasanya mengenai kejadian-kejadian penting (stressful, traumatik)
yang baru terjadi, tidak disebabkan gangguan mental organic, kelupaan,
kelelahan, intoksikasi.
·
Individu tiba-tiba menjadi tidak dapat
mengingat kembali informasi personal yang penting (biasanya setelah mengalami
beberapa peristiwa stressful).
·
Selama periode amnesia, perilaku atau
kemampuan individu mungkin tidak berubah, kecuali bahwa hilangnya memori menyebabkan
beberapa disorientasi, tidak mengenali identitas (asal, teman, keluarga,
dll)
·
Hilangnya memori
·
Bisa hanya untuk peristiwa tertentu atau
seluruh peristiwa kehidupan
·
Biasanya berlangsung dalam periode waktu
tertentu, bisa beberapa jam sampai dengan beberapa tahun
·
Memori biasanya kembali muncul secara
tiba-tiba juga, lengkap seperti sebelumnya (hanya sedikit kemungkinan untuk
kambuh)
·
Hilangnya memori tidak sama dengan yang
disebabkan oleh kerusakan otak atau karena ketergantungan obat.
2. Fugue Disosiatif
Fugue
disosiatif adalah hilangnya memori yang disertai dengan meninggalkan rumah dan
menciptakan identitas baru. Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori lebih
besar dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue disosiatif
tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan
beraktivitas dengan menggunakan identitas baru.
Perkembangan klinis Fugue Disosiatif:
·
Gangguan di mana individu melupakan
informasi personal yang penting dan membentuk identitas baru, juga pindah ke
tempat baru.
·
Individu tidak hanya mengalami amnesia
secara total, namun juga tiba-tiba pindah (melarikan diri) dari rumah dan
pekerjaan, serta membentuk identitas baru.
·
Biasanya terjadi setelah seseorang
mengalami beberapa stress yang berat (konflik dengan pasangan, kehilangan
pekerjaan, penderitaan karena bencana alam).
·
Identitas baru sering berkaitan dengan
nama, rumah, pekerjaan bahkan karakteristik personality yang baru. Di kehidupan
yang baru, individu bisa sukses walaupun tidak mampu untuk mengingat masa lalu.
3. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan
depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman seseorang
terhadap diri sendiri berubah. Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya
dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Para
penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya
ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka
terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh
mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa
seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.
Perkembangan klinis gangguan Dipersonalisasi:
·
Gangguan di mana adanya perubahan dalam
persepsi atau pengalaman individu mengenai dirinya.
·
Individu merasa “tidak riil” dan merasa
asing terhadap diri dan sekelilingnya, cukup mengganggu fungsi dirinya.
·
Memori tidak berubah, tapi individu
kehilangan sense of self.
·
Gangguan ini menyebabkan stress dan
menimbulkan hambatan dalam berbagai fungsi kehidupan.
·
Biasanya terjadi setelah mengalami
stress berat, seperti kecelakaan atau situasi yang berbahaya. Biasanya
berawal pada masa remaja dan perjalanannya bersifat kronis (dalam waktu yang
lama).
4. Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan
identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang memiliki minimal dua atau
lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama lain bertindak bebas.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila
seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau
berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang
satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali
pada waktu yang berbeda.
Perkembangan Gangguan Indentitas Disosiatif:
· Individu
memiliki setidaknya dua kepribadian yang berbeda (adanya perbedaan dalam
keberadaan, feeling, perilaku),
bahkan ada yang bertolak belakang.
- Adanya dua atau lebih kepribadian yang terpisah dan berbeda pada seseorang. Setiap kepribadian memiliki pola perilaku, hubungan dan memori masing-masing.
- Kepribadian yang asli dan pecahannya kadang dapat menyadari adanya periode waktu yang hilang, adanya kepribadian yang lain. Suara dari kepribadian yang lain sering bergema, masuk ke kesadaran mereka tapi tidak diketahui milik siapa.
- Gap dalam memori mungkin terjadi jika suatu kepribadian tidak berkaitan dengan kepribadian yang lain.
- Keberadaan pribadi-pribadi yang berbeda menyebabkan gangguan dalam kehidupan seseorang dan tidak dapat disembuhkan seketika oleh obat-obatan.
- Biasanya muncul di awal masa kanak-kanak (adanya trauma berat di masa kanak-kanak), namun jarang didiagnosis sampai masa remaja. Lebih berat dari bentuk gangguan disosiatif lainnya
Secara
singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif ialah:
a.
Keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas
b.
Sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang
c.
Ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.
2.5.3 Pandangan-Pandangan
Teoritis
Gangguan
disosiatif merupakan fenomena yang sangat mengagumkan dan menarik. Bagaimana
perasaan seseorang akan identitas dirinya bisa menjadi sangat terdistorsi
hingga orang tersebut membangun kepribadian ganda, kehilangan banyak potongan
dari ingatan pribadi, atau membentuk sebuah identitas baru.
- Pandangan Psikodinamika
Amnesia
disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan cara memutus atau
mendisosiasi alam sadar seseorang dari kesadaran akan pengalaman yang
traumatis. Gangguan disosiatif melibatkan pengguna represi secara besar –
besaran yang menghasilkan terpisahnya impuls yang tidak dapat diterima dan
ingatan yang menyakitkan dari ingatan seseorang. Dalam amnesia dan fugue
disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri dari kebanjiran kecemasan dengan
mengeluarkan ingatan yang menggangu atau dengan mendisosiasi impuls menakutkan
yang bersifat biseksual atau agresif. Pada kepribadian ganda, orang mungkin
mengekspresikan impuls – impuls yang tidak dapat di terima ini melalui
pengembangan kepribadian pengganti. Pada depersonalisasi orang berada di luar
dirinya sendiri aman dengan cara menjauhi dari pertarungan emosional di dalam
dirinya.
- Pandangan Kognitif & Budaya
Teoritikus
belajar dan kognitif memandang disosiasi sebagai suatu respons yang dipelajari,
meliputi proses tidak berpikir tentang tindakan atau pikiran yang menggangu
dalam rangka menghindari rasa bersalah dan malu yang di timbulkan oleh
pengalaman. Kebiasaan tidak berpikir tentang masalah– masalah tersebut secara
negative dikuatkan dengan adanya perasaan terbebas dari kecemasan atau dengan
memindahkan perasaan bersalah atau malu.
- Disfungsi Otak
Perbedaan
dari aktivitas metabolisme otak antara orang dengan gangguan depersonalisasi
dan subjek yang sehat. Penemuan ini yang menekankan pada kemungkinan adanya
disfungsi di bagian otak yang terlibat dalam persepsi tubuh, dapat membantu
menjelaskan perasaan terpisah dari tubuh yang di asosiasikan dengan
depersonalisasi.
2.5.4 Terapi gangguan disosiatif
Gangguan
disosiatif menunjukkan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan lain,
kemungkinan relevansi teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif,
amnesia, fugue dan GID, para penderita menunjukkan perilaku yang secara sangat
meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian
kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis
bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres.
Terapi
psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif dibanding
masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hukum
sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.
Hipnotis
umum digunakan dalam penanganan GID. Secara umum, pemikirannya adalah pemulihan
kenangan menyakitkan yang direpres akan difasilitasi dengan menciptakan kembali
situasi penyiksaan yang diasumsikan dialami oleh pasien. Umumnya seseorang
dihipnotis dan didorong agar mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa
masa kecil.
Terdapat
beberapa prinsip yang disepakati secara luas dalam penganganan GID, terlepas
dari orientasi klinis (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross,
1989). Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian. Setiap kepribadian
harus dibantu untuk memahami bahwa ia adalah bagian dari satu orang dan
kepribadian- kepribadian tersebut dimunculkan oleh diri sendiri.
Terapi
harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya untuk kenyaman, bukan sebagai
cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yang terpisah dan otonom. Seluruh
kepribadian harus diperlakukan secara adil. Terapis harus mendorong empati dan
kerjasama diantara berbagai kepribadian. Diperlukan kelembutan dan dukungan
berkaitan dengan trauma masa kanak-kanak yang mungkin telah memicu munculnya
berbagai kepribadian.
Tujuan
setiap pendekatan terhadap GID haruslah untuk meyakinkan penderita bahwa
memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang berbeda tidak lagi diperlukan
untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di masa lalu yang memicu
disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di masa yang akan datang.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Abnormalitas adalah suatu perilaku, pikiran, dan
perasaan yang membahayakan individu
maupun orang lain.
2.
Teori
mangenai perilaku abnormal berkembang dalam beberapa periode sejarah, yaitu: Masa
Demonologi Awal, Masa somatogenesis, Masa orang sakit jiwa dianggap sebagai
tukang sihir. Masa perkembangan asylum, Masa moral treatment, Masa mulainya
pemikiran baru, Masa psikogenesis
3. Kecemasan merupakan hal yang normal terjadi pada setiap individu, reaksi
umum terhadap stress kadang dengan disertai kemunculan kecemasan. Namun
kecemasan itu dikatakan menyimpang bila individu tidak dapat meredam
(merepresikan) rasa cemas tersebut dalam situasi dimana kebanyakan orang mampu
menanganinya tanpa adanya kesulitan yang berarti.
4. Gangguan
somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis.
5.
Disosiasi psikologis adalah perubahan
kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan identitas.
3.2
Saran-saran
Bagi
para mahasiswa diharapkan agar dapat memahami dengan baik konsep-konsep dan
teori, karakteristik serta tipe-tipe abnormalitas, sehingga dapat membedakan
antara perilaku abnormal dan normal. Setelah dapat membedakan antara perilaku
abnormal dan normal, mahasiswa juga diharapkan untuk dapat mengontrol diri agar
senantiasa berperilaku sehat dan normal baik secara mental maupun fisik dalam
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Davison,
Gerald C., Neale,John M., Kring,Ann M., Psikologi Abnormal, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006.
Nevid
S.Jeffrey dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT.Gelora Aksara
V.
Mark Durank & Dvid H.Barlow.2006.Psikologi Abnormal. Jilid 1 dan 2.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar
Tomb,
David. A. 2000. Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC